Breaking News
Pemandu Gunung Profesional
Dari Puncak Gunung ke Panggung Politik: Saat Alam Tak Lagi Netral
Share your love
Dari Puncak Gunung ke Panggung Politik: Saat Alam Tak Lagi Netral
Gunung selalu kita bayangkan sebagai tempat yang suci, jauh dari hiruk pikuk, penuh kedamaian dan keterhubungan dengan alam. Namun kenyataannya, gunung bukan ruang yang steril dari politik. Justru di balik tenangnya kabut dan megahnya puncak, banyak konflik kepentingan bersembunyi dari soal perizinan tambang, pungli jalur pendakian, hingga narasi-narasi yang dikemas dalam “kearifan lokal”.
Gunung, Ruang Bebas atau Ladang Kuasa?
Pendakian bukan sekadar aktivitas rekreasi. Ia adalah bentuk pergerakan manusia menembus batas, masuk ke ruang yang dianggap “liar” atau “bebas”. Tapi ketika kita menyusuri jalur pendakian, sadar atau tidak, kita sedang memasuki wilayah yang penuh tumpang tindih: wilayah adat, lahan Perhutani, zona konservasi, bahkan area konsesi tambang.
Di sinilah politik mulai bermain.
- Siapa yang berhak mengatur jalur pendakian?
- Apakah pungutan yang dibebankan punya dasar hukum?
- Apakah masyarakat lokal mendapatkan manfaat atau justru dimarginalkan?
Banyak jalur pendakian dikelola oleh komunitas warga, tapi tak jarang muncul “oknum” yang mengkomersialisasi jalur tanpa legitimasi. Dalihnya adalah pelestarian budaya, namun sering kali tanpa transparansi dan cenderung eksploitatif. Seperti dalam kasus selendang di jalur Cetho yang sempat viral: simbol budaya dipaksakan, dikomersialisasi, dan dijadikan alat kontrol atas akses publik.
Gunung sebagai Komoditas Politik
Tak hanya konflik lokal. Beberapa gunung di Indonesia juga menjadi ajang pertarungan kebijakan pusat vs kepentingan daerah. Contohnya:
- Tambang emas di Wabu Block (Papua) yang mengundang pro-kontra karena berada di kawasan pegunungan yang selama ini dianggap sakral dan penting bagi masyarakat adat.
- Rencana pembangunan geopark dan wisata premium di kawasan gunung sering kali menyingkirkan masyarakat sekitar, yang tidak dilibatkan dalam perencanaan.
- Ladang Ganja di Bromo: Ketika Kawasan Konservasi Jadi Zona Kriminal
Gunung, dalam hal ini, bukan hanya lanskap fisik tapi juga simbol kekuasaan. Siapa yang menguasai gunung, punya daya tawar politik: baik dari segi ekonomi, dukungan massa (komunitas lokal), maupun legitimasi budaya.
Politik Gunung: Narasi yang Dikendalikan
Penting kita sadari, bahwa narasi tentang gunung juga sangat politis. Kadang gunung diceritakan sebagai tempat mistik, penuh pantangan dan aturan tak tertulis, agar tetap ‘suci’. Tapi kadang pula gunung justru disulap jadi objek wisata masif tanpa pertimbangan ekologi. Kedua narasi itu sering diproduksi oleh mereka yang punya kekuasaan untuk menentukan: siapa yang boleh naik, siapa yang boleh mengelola, siapa yang boleh untung.
Dalam ruang ini, masyarakat lokal sering kali tak punya suara penuh. Mereka dianggap pelengkap eksotisme budaya, tapi tidak menjadi aktor utama. Padahal mereka adalah penjaga gunung sejati: mereka yang hidup, berladang, dan berdoa di lerengnya.
Saatnya Mendaki dengan Mata Terbuka
Mendaki gunung seharusnya bukan sekadar pelarian dari kota. Tapi juga ajang kontemplasi: tentang siapa yang punya kuasa atas alam, bagaimana hak-hak masyarakat dijaga, dan bagaimana kita sebagai pendaki bisa menjadi bagian dari solusi.
Gunung bukan tempat netral. Ia adalah ruang hidup, ruang spiritual, dan ruang politik.
Maka, setiap langkah kaki kita di jalur pendakian adalah juga sikap politik: apakah kita peduli terhadap keadilan ekologi? Apakah kita kritis terhadap pungutan liar? Apakah kita mendukung pelestarian atau justru ikut menikmati eksploitasi?
Penutup: Gunung Adalah Cermin
Gunung tidak pernah bohong. Ia mencerminkan siapa kita sebagai bangsa, sebagai masyarakat, sebagai individu. Apakah kita pendaki yang peka atau pendaki yang apatis? Apakah kita ingin menaklukkan atau belajar dari alam?
Di tengah makin banyaknya konflik soal jalur, pungli, tambang, dan proyek wisata, satu hal yang pasti:
Alam hanya bisa dilindungi jika kita berani bicara.
Dan dari puncak gunung, barangkali suara kita bisa lebih lantang terdengar bukan untuk menaklukkan alam, tapi untuk membela mereka yang selama ini tak terlihat.
Baca Juga:
