Breaking News

Popular News

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Selendang Cetho: Ketika Jalur Pendakian Dibelit Simbol, Pungutan, dan Kontestasi Makna

Share your love

Selendang Cetho: Ketika Jalur Pendakian Dibelit Simbol, Pungutan, dan Kontestasi Makna

Gunung Lawu bukan sekadar destinasi pendakian. Ia adalah ruang spiritual, mitologis, dan kultural yang telah lama dihormati. Di antara beberapa jalur yang ada, jalur via Candi Cetho menawarkan pengalaman pendakian yang berbeda — lebih tenang, mistis, dan kental dengan narasi leluhur.

Namun pada Mei 2025, citra sakral jalur ini tercoreng. Bukan karena pendakinya, melainkan karena sebuah selendang kain kecil yang menyimpan polemik besar.


Awal Mula Kisruh: Selendang Wajib dengan Harga Rp5.000

Di awal bulan Mei, pendaki yang melewati jalur Cetho dihebohkan oleh kewajiban mengenakan selendang sebelum diperbolehkan melanjutkan perjalanan menuju Candi Kethek. Selendang itu tidak diberikan cuma-cuma, melainkan disewakan seharga Rp5.000, dengan dalih sebagai bentuk penghormatan terhadap situs spiritual.

Namun, alih-alih menumbuhkan rasa hormat, kebijakan ini justru memicu polemik. Banyak pendaki merasa tidak diberi ruang untuk memilih. Beberapa bahkan mengaku terpaksa membayar karena merasa tidak bisa melanjutkan pendakian jika menolak.

Di sinilah masalah bermula: ketika budaya dijadikan syarat, bukan kesadaran.


Viral di Media Sosial dan Tanggapan Pemerintah

Kisah ini viral dalam sekejap. Video dan testimoni para pendaki menyebar cepat di media sosial. Narasi dominan yang mengemuka adalah:

“Jika ini bagian dari adat, mengapa dipungut biaya? Jika sakral, mengapa terasa dipaksakan?”

Respon cepat datang dari Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Karanganyar. Kepala dinas, Hari Purnomo, menegaskan bahwa pungutan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan tidak berasal dari kebijakan resmi.

Ternyata, jalur yang dikenakan pungutan bukanlah jalur resmi yang dikelola Perhutani, melainkan jalur alternatif yang dibuka oleh oknum masyarakat Desa Anggrasmanis yang mengatasnamakan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan).

Pihak Perhutani KPH Surakarta menambahkan bahwa kerja sama dengan kelompok pengelola lokal telah berakhir sejak Juli 2024, sehingga aktivitas pungutan semacam itu tidak mendapat persetujuan resmi.


Penutupan Pos dan Pembukaan Jalur Lama

Menindaklanjuti konflik ini, Dinas Pariwisata dan Perhutani mengambil langkah tegas:

  1. Menutup pos penyewaan selendang yang dianggap bermasalah.
  2. Membuka kembali jalur resmi pendakian via Cetho, yang sebelumnya sempat dialihkan.

Langkah ini mendapat sambutan positif dari para pendaki dan pegiat lingkungan. Mereka menilai tindakan cepat ini mampu menghindari konflik lanjutan sekaligus mengembalikan rasa aman dan nyaman bagi pendaki.


Simbol Budaya atau Alat Komersialisasi?

Dalam banyak budaya, penggunaan kain atau selendang memang sering menjadi simbol penghormatan di tempat-tempat sakral, termasuk di Candi Cetho yang diyakini sebagai salah satu titik penting perjalanan spiritual Prabu Brawijaya.

Namun, ketika simbol tersebut dijadikan alat pemungutan bahkan dipaksakan kepada semua pendaki, maka sakralitas berubah menjadi komoditas.

Budaya yang dipaksakan tidak melahirkan penghormatan, tetapi resistensi. Kearifan lokal yang dimonopoli segelintir orang tidak lagi arif, melainkan manipulatif.


Pelajaran dari Konflik Selendang

Kisah ini adalah refleksi tentang bagaimana persimpangan antara tradisi, pariwisata, dan kekuasaan lokal bisa menimbulkan ketegangan. Gunung, yang mestinya jadi ruang kontemplasi dan keterbukaan, justru bisa berubah jadi ladang tarik-menarik kepentingan jika tidak dikelola dengan transparan.

Beberapa pelajaran penting dari kasus ini:

  • Pelestarian budaya tidak boleh dimonopoli oleh satu pihak.
  • Pungutan harus berbasis legalitas, bukan intimidasi.
  • Pendaki berhak tahu mana yang wajib dan mana yang simbolik.
  • Dialog antar pihak lebih penting daripada saling klaim.

Penutup: Lawu, Rumah untuk Semua

Gunung Lawu bukan milik siapa-siapa. Ia adalah rumah bersama: bagi yang mencari sunyi, yang menelusuri sejarah, dan yang mendaki dengan iman.

Selendang di Cetho mestinya jadi simbol persaudaraan dan penghormatan bukan pemaksaan dengan harga.

Saat kita berjalan di jalur spiritual, jangan sampai kita lupa:
Menghormati alam dan budaya tidak selalu dengan membayar,
tapi dengan memahami, menjaga, dan tidak memanfaatkan.


Share your love
Nelles Harlowin
Nelles Harlowin
Articles: 5

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Stay informed and not overwhelmed, subscribe now!